TEORI
HUKUM
Dalam
dunia ilmu , teori menempati kedudukan yang penting . ia memberikan sarana
kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan
secara lebih baik . hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri
bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna .
Teori, dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan
mensistematiskan masalah yang dibicarakannya , Teori bisa juga mengandung subjektivitas , apalagi
berhadapan dengan suatu fenomena yang cukup kompleks seperti hukum ini. Oleh
karena itulah muncul berbagai aliran dalam ilmu hukum, sesuai dengan sudut
pandang yang di pakai oleh orang-orang yang tergabung dalam aliran-aliran
tersebut
A.
TEORI-TEORI
YUNANI DAN ROMAWI
Yunani boleh di sebut sebagai sumber
kancah pemikiran-pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya,
sehingga masalah-masalah utama dalam teori hukum sekarang ini bisa dikaitkan ke
belakang kepada bangsa tersebut . Masalah – masalah utama yang di bicarakan
dalam teori-teori hukum telah mendapatkan perumusan pada masa itu .
Dibandingkan dengan Yunani , maka Romawi tidak banyak memberikan membangun pada
pemikiran teori ini.(Friedmann,1953 ; 5)
Plato , yang sendirinya adalah seorang
filsuf , namun demikian , ia pun mengembangkan teorinya sendiri mengenai
keadilan dan hal itu merupakan bagian yang penting dari keseluruhan bangunan
filsafatnya (Bodenheimer, 1974 : 6 – 9) . Menurut platom keadilan adalah,
“apabila seseorang itu menjalankan pekerjaannya dalam hidup ini sesuai dengan
kemampuan yang ada padanya “, Setiap anggota masyarakat mempunyai
tugas-tugasnya sendiri yang khusus dan hendaknya membatasi pekerjaanya kepada
pelaksanaan dari tugas-tugas tersebut. Dengan demikian, Plato hendak mengatakan,
bahwa masyarakat yang adil adalah yang anggota-anggotanya bisa menjalankan
kegiatannya secara demikian itu. “Mengurusi pekerjaan sendiri dan tidak
mencampuri orang lain, itulah keadilan”. Dalam masyarakat yang demikian itu
memang tidak dapat di hindari timbulnya pertentangan-pertentangan dan ini harus
diselesaikan oleh kekuasaan di situ . Dalam The
Republic , Plato menyerahkan penyelesaian itu kepada hakim , The
Republic adalah sesuatu negara yang di pimpin oleh orang-orang yang cerdik
cendekiawan,yang bebas dan bukannya orang-orang yang terikat kepada
hukum.Keadilan itu hendaknya diciptakan dan dijalankan dalam masyarakat “ tanpa
menggunakan hukum. “ Pada masa-masa menjelang akhir hidupnya, Plato mulai
mengakui, bahwa tidak mudah untuk menemukan orang-orang dengan kualitas yang
demikian itu dan oleh karenanya ia mengusulkan “negara hukum” sebagai
alternatif yang paling baik bagi pemerintahan oleh manusia itu.
Aristoteles adalah murid Plato dan
sangat terkesan oleh ide-ide gurunya itu . sekalipun demikian, ia mengembangkan
pemikiirannya sendiri dan terutama banyak memberikan koreksi terhadap pikiran
edealistis dari gurunya. Menurut Aristoteles, negara yang didasarkanpada hukum
bukan merupakan alternatif yang baik dari negara yang dipimpin oleh orang-orang
cendekiawan , melainkan satu-satunya cara yang paling praktis untuk mencapai
kehidupan yang baik dan sejahtera dalam masyarakat . Dalam pikiran Aristoteles,
hukum itu merupakan pembadanan dari akal yang bebas dari nafsu-nafsu . hanya
Tuhan dan akal saja yang boleh memerintah , dan sampai sekarang sumbangan
Aristoteles yang lain yang di pandang sangat besar bagi pemikiran tentang hukum dan keadilan adalah
pembedaannya dalam keadilan distributif dan keadilan korektif
B.
HUKUM
ALAM
Apabila orang mengikuti sejarah Hukum Alam , maka ia
sedang mengikuti sejarah ummat manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan
yang mutlak di dunia ini serta kegagalan-kegagalannya , Sesungguhnya hukum alam
merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori didalamnya . Berbagai
anggapan dan pendapat yang dikelompokkan ke dalam Hukum Alam ini bermunculan
dari masa ke masa . Istilah “hukum alam” ini di tangkap dalam berbagai artinya
oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbera pula . Berikut ini di
sebutkan berbagai anggapan yang demikian itu (Dias, 1976 : 653):
1. Merupakan
ideal-ideal yang menuntun perkembangan hukum dan pelaksanaannya.
2. Suatu
dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu
pemisahan secara total antara “yang sekarang dan “yang seharusnya”.
3. Suatu
metoda untuk menemukan hukum yang sempurna.
4. Isi
dari hukum yang sempurna, yang dapat didedusika
5. Suatu
kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum
Pada kutipan (Allen, 1958 : 24) : “Hukum
adalah suatu struktur tertentu yang memberi bentuk pada tujuan-tujuan manusia
yang menggerakkan manusia untuk bertindak . Untuk dapat menemukan asas-asas
umum dari pembentukan struktur yang demikian itu, kita harus mengabstraksikan
tujuan-tujuan tersebut dari kehidupan sosial yang nyata . Kita harus menemukan
asalnya dan bertanya kepada diri kita sendiri, apakah yang merupakan hal yang
pokok yang harus kita lakukan untuk memahaminya sebagai suatu sistem
tujuan-tujuan yang harmonis dan teratur. Kemudian, dengan bantuan analisa yang
logis, kita akan menemukan asas-asas peyusunan hukum(juridical organization) tertentu yang mutlak sah, yang akan
menuntun kita dengan aman dalam memberikan penilaian tentang tujuan-tujuan
manakah yang layak untuk mendapatkan pengakuan oleh hukum dan bagaimanakah
tujuan-tujuan itu berhubungan satu sama lain secara hukum (jurally related)” dari kutipan di samping tampak dengan jelas,bahwa
ia termasuk ke dalam tipe Hukum Alam sebagai metoda , yang dengan menunjukkan
cara-cara yang seharusnya di tempuh untuk bisa menemukan “isi norma hukum
tertentu” di tengah situasi-situasi yang berubah sesuai dengan waktu , tempat
dan masyarakat yang berlain-lainan.
C.
POSITIVISME
DAN UTILITARIANISME
Pada awal abad ke-19 menandai munculnya
gerakan positivisme dalam ilmu hukum. Abad tersebut meneruma warisan
pemikiran-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealistis, seperti
hanya Hukum Alam yang sudah kita bicarakan di atas , Dalam pada itu ,
perkembangan dan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang terjadi dalam abad
ke-19 itu telah menimbulkan semangat serta sikap yang bersifat kritis terhadap
masalah-masalah yang di hadapi. Kita mengetahui, bahwa pada abad ini suatu
tradisi ilmu yang baru telah berkembang, yaitu ilmu yang nantinya mampu membuka
cakrawala baru dalam sejarah umat mamusia, yang semula seperti terselubung oleh
cara-cara pemahaman “tradisional”.
Menurut Austin, Seorang positivis yang
utama , mempertahankan bahwa satu-satunya sumber hukum ialah kekuasaan yang
tertinggi dalam suatu negara . Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai
sumber yang lebih rendah (subordinate
sources). Jika kita ikuti penjelasaan tentang sumber lebih rendah ini ,
dapat di tarik kesimpulan bahwa ia sama sekali tida menganggapnya sebagai
sumber . Tetapi Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudance) sebagai teoru hukum positif yang otonom dan dapat
mencukupi dirinya sendiri.
D.
TEORI
HUKUM MURNI
Menurut
asal-usulnya, Teori Murni ini merupakan suatu pemberonaan yan ditunjukan
terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu yang hanya mengembangkan hukum itu
sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter (Allen, 1958 : 48).
Teori ini boleh di lihat sebagai suatu
pengembangan yang amat seksama dari Aliran Positivisme yang berada di atas ,
seperti yang di jelaskan , ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya
menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang
ada , Menurut Kelsen, Teori Hukum Murni adalah teori tentang hukum positif . Ia
berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan, “Apakah hukumnya?” dan
bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena titik tolak yang
demikian itu , maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana lazimnya
dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum . Ia adalah suatu konsem
ideologis, suatu ideal yang “irasional” (Bodenhemier, 1974 : 99). Dikatakan
olehnya , “Pendapat yang umum dikemukakan mengatakan, bahwa keadilan itu ada ,
tetapi pendapat itu tidak bisa memberikan batasannya yang jelas, sehingga
menumbulkan suatu keadlan yang kontradiktif . bagaimana pun keadilan itu tidak
dapat dilepaskan dari kehendak (volition)
dan tidak manusia, tetapi ia tida bisa menjadi subjek pengetahuan. Dipandang
dari suduk pengetahuan rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan, dan
karena itu hanya ada konflik kepentingan-kepentingan”,(Bodenheimer , 1974 : 99)
E.
PENDEKATAN
– PENDEKATAN SEJARAH DAN ANTHROPOLOGIS
Teori-teori
yang kita bicarakan barusan tergolong ke dalam teori formal, yaitu berusaha untuk menggambarkan struktur formal dari
hukum . Berbeda dengan itu , teori yang akan kita bahas ini mempersoalkan isi
serte penerapan dari hukum. Abad ke-19 merupakan masa yang kaya dengan
timbulnya ideal-ideal serta gerakan-gerakan hukum baru . Semua itu merupakan
bagian dari suatu kehidupan manusia yang dipacu oleh berbagai kemajuan di
bidang peradabannya . ilmu yang diusahakan oleh manusia telah mencapai suatu
momentum yang memungkinkan dibukanya suatu cakrawala baru, seperti
kemungkinan-kemungkinan yang di bawakan oleh penemuan-penemuan di bidang
teknologi yang seolah-olah menjungkirbalikkan pandangan-pandangan,
konsep-konsep serta irama kehidupan yang lampau , Manusia semakin meyakini
kemampuannya sendiri dan dengan demikian mendorong keberaniannya untung
menembusi dunianya dengan pikiran-pikiran yang kritis , Juga di bidang
filsafat, hukum dan lain-lainnya .
Baik
Aliran Positivisme dan Aliran Sejarah serta Anthropologi merukapan reaksi
terhadap teori-teori hukum alam , Benih-benih bagi tumbuhan pendekatan sejarah
tersimpan dalam abad-abad sebelumnya, terutama dalam hubungan dengan
dasar-dasar yang dipakai untuk menyusun teori-teori pada abad-abad tersebut .
Para pemikir tampaknya semakin menyadari, bahwa teori-teori, seperti Locke dan
“kontrak sosial” Rousseau, tidak
didasarkan kepada kenyataan-kenyataan, melainka atas dasar asumsi-asumsi yang
ajaib (prodigious). Pendekatan sejarah
ini boleh disebut sebagaii suatu revolusi dari fakta terhadap khayalan (Allen,
1958 : 15-16) , “Atas dasar fakta dan bahan sejarah yang manakah teori kontrak
sosial(dan lain-lain teori) disusun?” demikian kira-kira gugatan yang di
lontarkan oleh Aliran Sejarah terhadap teori-teori sebelumnya .
Pada tahun 1900 negri Romawi mendapatkan
kitab udang-undangnya dalam wujud Burgerliches
Gesetzbuch , Kalimat-kalimat pembukaan dari karangan tersebut yang
merupakan titik tolak aliran baru yaitu berbunyi : “Pada waktu-waktu yang lampau sebagaimana dapat diketahui dari sejarah
kuno , hukum telah dapat diketemukan dalam bentuk yang pasti, bersifat khas
untuk masing-masing rakyat , seperti adat mereka, bahasa mereka dan struktur
masyarakatnya . Tidak,fenomena ini tidak mempunyai eksistensi sendiri yang
terpisah, sema itu adalah semata-mata bidang-bidang khusus dan
kecenderungan-kecenderungan dari suatu rakyat , yang pada hakikatnya tidak
dapat di pisahkan, dan hanya menurut pandangan kitalah tampak masing-masing terpisah
yang satu dari yang lain . Yang mengikat semua itu ke dalam satu kesatuan
adalah keyakinan yang sama pada rakyat , kesadaran yang sama dalam hati tentang
adanya keharusan sehingga semua itu meyampingkan adanya kesan seolah-olah kita
berhadapan dengan sesuatu yang tiba-tiba dan kebetulan” .(Allen, 1958 : 16).
Hakikat dari setiap sistem hukum ,
menurut Savigny, adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan
hukum itu di kemudian hari hal tersebut oleh G. Puchta , Murid Savigny yang
paling setia , dicirian sebagai Volksgelist
. menurut Puchta, semua hukum adalah perwujudan dari kesadaran yang umum
ini .
Tetapi menurut E.A. Hoebel menyatakan
bahwa hukum melakukan fungsi-fungsi yang esensial untuk mempertahankan
masyarakat , kecuali bagi masyarakat-masyarakat yang memang paling sederhana .
Fungsi-fungsi esensial tersebut adalah (Hoebel, 1967 : 272 – 287) :
1. Mendefinisikan
hubungan-hubungan antara anggota-anggota masyarakat untuk menetapkan hal-hal
apa yang boleh dilakukan dan yang tidak , sebagai usaha untuk paling sedikit
mempertahankan integrasi minimal dari kegiatan-kegiatan antar individu dan
kelompok dalam masyarakat.
2. Mengalir
dari keharusan untuk menjinakkan kekuasaan yang bersifat telanjang dan
mengarahkannya dalam rangka mempertahankan ketertiban .
3. Penyelesaian
sengketa-sengketa yang muncul.
4. Mendefinisikan
kembali hubungan-hubungan antara infividu-individu dan kelompok-kelompok pada
saan kondisi kehidupan mengalami perubahan , yang bertujuan untuk
mempertahankan kemampuan beradaptasi.
F.
PENDEKATAN
– PENDEKATAN SOSIOLOGIS
Perubahan-perubahan
dalam masyarakat pada abad ke-19 sebagaimana telah di utarakan yang telah
memberikan pengaruhnya kepada cara-cara pendekatan terhadap hukum yang selama
itu dipakai . Aliran sejarah telah mulai menarik perhatian orang dari analisis
hukum yang abstark dan ideologis kepada lingkungan sosial yang membentuk
hukumnya .
Mengambil salah satu Teori sosiologis tentang perkembangan hukum
yaitu menurut : Emil Dukheim (1858 – 1917) adalah seorang ahli sosiologi
dan tidak sejak semula mempunyai perhatian terhadap hukum, Sebagai seorang ahli
sosiologi ia terikat kepada metode empiris , yaitu menyusun suatu pendapat atas
dasar data dalamm masyarakat adapun yang merupakan pusat perhatian Durkheim
adalah pertanyaan besar tentang apa sebabnya masyarakat itu teradi , Bukankah
masing-masing orang itu mempunyai kepentingan dan keinginannya
sendiri-sendiri> sekalipun demikian, mengapa mereka itu bisa hidup dalam
ikatan kemasyarakatan? Apa yang menyebabkan mereka itu terikat ke dalam satu
kesatuan kehidupan ?
Teorinya
yang mencoba untuk memecahkan problem tersebut dan telah menjadi klasik ,
diuraikan dalam kitabnya De La division
du travail social (1983) di
terjemahkan ke dalam bahasa inggris : (The Division of Labor in Society) .
Durkheim menemukan faktor yang dicarinya itu dalam bentuk solidaritas , Baginya yang pertama-tama ada adalah kesadaran
sosial, bukan kesadaran infividual . Durkheim menekankan perhatiannya pada
fenomen solidaritas sosial yang terdapat antara orang-orang dalam masyarakat,
Pada saat periode solidaritas itu belum terbentuk , yaitu pada saat hubungan
antara orang-orang dalam suatu wilayah hanya bersifat adang kala, maka di situ
belum terbentuk masyarakat dengan pengaturan yang terperinci , Persoalan yang
kemudian dikemukakannnya adalah , Bagaimanakah ia dapat mengukur solidaritas tersebut , Seperti dikemukakan di atas ,
Durkheim mengikuti metode empiris , sehingga dalam hal ini ia juga dapat di
tangkap secara empiris . Sekalipun solidaritas tidak dapat ditangkap dan di
ukur dengan pasti , namun Durkheim menemukan lambangnya yang empiris pada :
hukum. Bertolak dari penemuan yang demikian itu , ia selanjutnya melihat adanya
pertalian antara jenis-jenus hukum tertentu dengan sifat solidaritas dalam
masyarakat . Ia membuat perbedaan antara “Hukum yang menindak”(repressive) dan “hukum yang mengganti”(restitutive) .