Rabu, 10 April 2013

Teori Hukum



TEORI HUKUM
 
      
Dalam dunia ilmu , teori menempati kedudukan yang penting . ia memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik . hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna . Teori, dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematiskan masalah yang dibicarakannya , Teori bisa juga mengandung subjektivitas , apalagi berhadapan dengan suatu fenomena yang cukup kompleks seperti hukum ini. Oleh karena itulah muncul berbagai aliran dalam ilmu hukum, sesuai dengan sudut pandang yang di pakai oleh orang-orang yang tergabung dalam aliran-aliran tersebut

A.    TEORI-TEORI YUNANI DAN ROMAWI

Yunani boleh di sebut sebagai sumber kancah pemikiran-pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya, sehingga masalah-masalah utama dalam teori hukum sekarang ini bisa dikaitkan ke belakang kepada bangsa tersebut . Masalah – masalah utama yang di bicarakan dalam teori-teori hukum telah mendapatkan perumusan pada masa itu . Dibandingkan dengan Yunani , maka Romawi tidak banyak memberikan membangun pada pemikiran teori ini.(Friedmann,1953 ; 5)
          Plato , yang sendirinya adalah seorang filsuf , namun demikian , ia pun mengembangkan teorinya sendiri mengenai keadilan dan hal itu merupakan bagian yang penting dari keseluruhan bangunan filsafatnya (Bodenheimer, 1974 : 6 – 9) . Menurut platom keadilan adalah, “apabila seseorang itu menjalankan pekerjaannya dalam hidup ini sesuai dengan kemampuan yang ada padanya “, Setiap anggota masyarakat mempunyai tugas-tugasnya sendiri yang khusus dan hendaknya membatasi pekerjaanya kepada pelaksanaan dari tugas-tugas tersebut. Dengan demikian, Plato hendak mengatakan, bahwa masyarakat yang adil adalah yang anggota-anggotanya bisa menjalankan kegiatannya secara demikian itu. “Mengurusi pekerjaan sendiri dan tidak mencampuri orang lain, itulah keadilan”. Dalam masyarakat yang demikian itu memang tidak dapat di hindari timbulnya pertentangan-pertentangan dan ini harus diselesaikan oleh kekuasaan di situ . Dalam The Republic , Plato menyerahkan penyelesaian itu kepada hakim  , The Republic adalah sesuatu negara yang di pimpin oleh orang-orang yang cerdik cendekiawan,yang bebas dan bukannya orang-orang yang terikat kepada hukum.Keadilan itu hendaknya diciptakan dan dijalankan dalam masyarakat “ tanpa menggunakan hukum. “ Pada masa-masa menjelang akhir hidupnya, Plato mulai mengakui, bahwa tidak mudah untuk menemukan orang-orang dengan kualitas yang demikian itu dan oleh karenanya ia mengusulkan “negara hukum” sebagai alternatif yang paling baik bagi pemerintahan oleh manusia itu.
          Aristoteles adalah murid Plato dan sangat terkesan oleh ide-ide gurunya itu . sekalipun demikian, ia mengembangkan pemikiirannya sendiri dan terutama banyak memberikan koreksi terhadap pikiran edealistis dari gurunya. Menurut Aristoteles, negara yang didasarkanpada hukum bukan merupakan alternatif yang baik dari negara yang dipimpin oleh orang-orang cendekiawan , melainkan satu-satunya cara yang paling praktis untuk mencapai kehidupan yang baik dan sejahtera dalam masyarakat . Dalam pikiran Aristoteles, hukum itu merupakan pembadanan dari akal yang bebas dari nafsu-nafsu . hanya Tuhan dan akal saja yang boleh memerintah , dan sampai sekarang sumbangan Aristoteles yang lain yang di pandang sangat besar bagi pemikiran  tentang hukum dan keadilan adalah pembedaannya dalam keadilan distributif dan keadilan korektif


B.     HUKUM ALAM

Apabila orang mengikuti sejarah Hukum Alam , maka ia sedang mengikuti sejarah ummat manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak di dunia ini serta kegagalan-kegagalannya , Sesungguhnya hukum alam merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori didalamnya . Berbagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan ke dalam Hukum Alam ini bermunculan dari masa ke masa . Istilah “hukum alam” ini di tangkap dalam berbagai artinya oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbera pula . Berikut ini di sebutkan berbagai anggapan yang demikian itu (Dias, 1976 : 653):

1.      Merupakan ideal-ideal yang menuntun perkembangan hukum dan pelaksanaannya.
2.      Suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara “yang sekarang dan “yang seharusnya”.
3.      Suatu metoda untuk menemukan hukum yang sempurna.
4.      Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didedusika
5.      Suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum

    Pada kutipan (Allen, 1958 : 24) : “Hukum adalah suatu struktur tertentu yang memberi bentuk pada tujuan-tujuan manusia yang menggerakkan manusia untuk bertindak . Untuk dapat menemukan asas-asas umum dari pembentukan struktur yang demikian itu, kita harus mengabstraksikan tujuan-tujuan tersebut dari kehidupan sosial yang nyata . Kita harus menemukan asalnya dan bertanya kepada diri kita sendiri, apakah yang merupakan hal yang pokok yang harus kita lakukan untuk memahaminya sebagai suatu sistem tujuan-tujuan yang harmonis dan teratur. Kemudian, dengan bantuan analisa yang logis, kita akan menemukan asas-asas peyusunan hukum(juridical organization) tertentu yang mutlak sah, yang akan menuntun kita dengan aman dalam memberikan penilaian tentang tujuan-tujuan manakah yang layak untuk mendapatkan pengakuan oleh hukum dan bagaimanakah tujuan-tujuan itu berhubungan satu sama lain secara hukum (jurally related)” dari kutipan di samping tampak dengan jelas,bahwa ia termasuk ke dalam tipe Hukum Alam sebagai metoda , yang dengan menunjukkan cara-cara yang seharusnya di tempuh untuk bisa menemukan “isi norma hukum tertentu” di tengah situasi-situasi yang berubah sesuai dengan waktu , tempat dan masyarakat yang berlain-lainan.





C.    POSITIVISME DAN UTILITARIANISME

        Pada awal abad ke-19 menandai munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum. Abad tersebut meneruma warisan pemikiran-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealistis, seperti hanya Hukum Alam yang sudah kita bicarakan di atas , Dalam pada itu , perkembangan dan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang terjadi dalam abad ke-19 itu telah menimbulkan semangat serta sikap yang bersifat kritis terhadap masalah-masalah yang di hadapi. Kita mengetahui, bahwa pada abad ini suatu tradisi ilmu yang baru telah berkembang, yaitu ilmu yang nantinya mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat mamusia, yang semula seperti terselubung oleh cara-cara pemahaman “tradisional”.

        Menurut Austin, Seorang positivis yang utama , mempertahankan bahwa satu-satunya sumber hukum ialah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara . Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources). Jika kita ikuti penjelasaan tentang sumber lebih rendah ini , dapat di tarik kesimpulan bahwa ia sama sekali tida menganggapnya sebagai sumber . Tetapi Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudance) sebagai teoru hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri.

D.    TEORI HUKUM MURNI

                                                Menurut asal-usulnya, Teori Murni ini merupakan suatu pemberonaan yan ditunjukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu yang hanya mengembangkan hukum itu sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter (Allen, 1958 : 48).

        Teori ini boleh di lihat sebagai suatu pengembangan yang amat seksama dari Aliran Positivisme yang berada di atas , seperti yang di jelaskan , ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada , Menurut Kelsen, Teori Hukum Murni adalah teori tentang hukum positif . Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan, “Apakah hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena titik tolak yang demikian itu , maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum . Ia adalah suatu konsem ideologis, suatu ideal yang “irasional” (Bodenhemier, 1974 : 99). Dikatakan olehnya , “Pendapat yang umum dikemukakan mengatakan, bahwa keadilan itu ada , tetapi pendapat itu tidak bisa memberikan batasannya yang jelas, sehingga menumbulkan suatu keadlan yang kontradiktif . bagaimana pun keadilan itu tidak dapat dilepaskan dari kehendak (volition) dan tidak manusia, tetapi ia tida bisa menjadi subjek pengetahuan. Dipandang dari suduk pengetahuan rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan, dan karena itu hanya ada konflik kepentingan-kepentingan”,(Bodenheimer , 1974 : 99)


E.     PENDEKATAN – PENDEKATAN SEJARAH DAN ANTHROPOLOGIS

     Teori-teori yang kita bicarakan barusan tergolong ke dalam teori formal, yaitu berusaha untuk menggambarkan struktur formal dari hukum . Berbeda dengan itu , teori yang akan kita bahas ini mempersoalkan isi serte penerapan dari hukum. Abad ke-19 merupakan masa yang kaya dengan timbulnya ideal-ideal serta gerakan-gerakan hukum baru . Semua itu merupakan bagian dari suatu kehidupan manusia yang dipacu oleh berbagai kemajuan di bidang peradabannya . ilmu yang diusahakan oleh manusia telah mencapai suatu momentum yang memungkinkan dibukanya suatu cakrawala baru, seperti kemungkinan-kemungkinan yang di bawakan oleh penemuan-penemuan di bidang teknologi yang seolah-olah menjungkirbalikkan pandangan-pandangan, konsep-konsep serta irama kehidupan yang lampau , Manusia semakin meyakini kemampuannya sendiri dan dengan demikian mendorong keberaniannya untung menembusi dunianya dengan pikiran-pikiran yang kritis , Juga di bidang filsafat,  hukum dan lain-lainnya .

     Baik Aliran Positivisme dan Aliran Sejarah serta Anthropologi merukapan reaksi terhadap teori-teori hukum alam , Benih-benih bagi tumbuhan pendekatan sejarah tersimpan dalam abad-abad sebelumnya, terutama dalam hubungan dengan dasar-dasar yang dipakai untuk menyusun teori-teori pada abad-abad tersebut . Para pemikir tampaknya semakin menyadari, bahwa teori-teori, seperti Locke dan “kontrak sosial” Rousseau,  tidak didasarkan kepada kenyataan-kenyataan, melainka atas dasar asumsi-asumsi yang ajaib (prodigious). Pendekatan sejarah ini boleh disebut sebagaii suatu revolusi dari fakta terhadap khayalan (Allen, 1958 : 15-16) , “Atas dasar fakta dan bahan sejarah yang manakah teori kontrak sosial(dan lain-lain teori) disusun?” demikian kira-kira gugatan yang di lontarkan oleh Aliran Sejarah terhadap teori-teori sebelumnya .

Pada tahun 1900 negri Romawi mendapatkan kitab udang-undangnya dalam wujud Burgerliches Gesetzbuch , Kalimat-kalimat pembukaan dari karangan tersebut yang merupakan titik tolak aliran baru yaitu berbunyi : “Pada waktu-waktu yang lampau sebagaimana dapat diketahui dari sejarah kuno , hukum telah dapat diketemukan dalam bentuk yang pasti, bersifat khas untuk masing-masing rakyat , seperti adat mereka, bahasa mereka dan struktur masyarakatnya . Tidak,fenomena ini tidak mempunyai eksistensi sendiri yang terpisah, sema itu adalah semata-mata bidang-bidang khusus dan kecenderungan-kecenderungan dari suatu rakyat , yang pada hakikatnya tidak dapat di pisahkan, dan hanya menurut pandangan kitalah tampak masing-masing terpisah yang satu dari yang lain . Yang mengikat semua itu ke dalam satu kesatuan adalah keyakinan yang sama pada rakyat , kesadaran yang sama dalam hati tentang adanya keharusan sehingga semua itu meyampingkan adanya kesan seolah-olah kita berhadapan dengan sesuatu yang tiba-tiba dan kebetulan” .(Allen, 1958 : 16).
Hakikat dari setiap sistem hukum , menurut Savigny, adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan hukum itu di kemudian hari hal tersebut oleh G. Puchta , Murid Savigny yang paling setia , dicirian sebagai Volksgelist . menurut Puchta, semua hukum adalah perwujudan dari kesadaran yang umum ini .

Tetapi menurut E.A. Hoebel menyatakan bahwa hukum melakukan fungsi-fungsi yang esensial untuk mempertahankan masyarakat , kecuali bagi masyarakat-masyarakat yang memang paling sederhana . Fungsi-fungsi esensial tersebut adalah (Hoebel, 1967 : 272 – 287) :
1.      Mendefinisikan hubungan-hubungan antara anggota-anggota masyarakat untuk menetapkan hal-hal apa yang boleh dilakukan dan yang tidak , sebagai usaha untuk paling sedikit mempertahankan integrasi minimal dari kegiatan-kegiatan antar individu dan kelompok dalam masyarakat.
2.      Mengalir dari keharusan untuk menjinakkan kekuasaan yang bersifat telanjang dan mengarahkannya dalam rangka mempertahankan ketertiban .
3.      Penyelesaian sengketa-sengketa yang muncul.
4.      Mendefinisikan kembali hubungan-hubungan antara infividu-individu dan kelompok-kelompok pada saan kondisi kehidupan mengalami perubahan , yang bertujuan untuk mempertahankan kemampuan beradaptasi.


F.     PENDEKATAN – PENDEKATAN SOSIOLOGIS

     Perubahan-perubahan dalam masyarakat pada abad ke-19 sebagaimana telah di utarakan yang telah memberikan pengaruhnya kepada cara-cara pendekatan terhadap hukum yang selama itu dipakai . Aliran sejarah telah mulai menarik perhatian orang dari analisis hukum yang abstark dan ideologis kepada lingkungan sosial yang membentuk hukumnya .
Mengambil salah satu Teori sosiologis tentang perkembangan hukum yaitu menurut : Emil Dukheim (1858 – 1917) adalah seorang ahli sosiologi dan tidak sejak semula mempunyai perhatian terhadap hukum, Sebagai seorang ahli sosiologi ia terikat kepada metode empiris , yaitu menyusun suatu pendapat atas dasar data dalamm masyarakat adapun yang merupakan pusat perhatian Durkheim adalah pertanyaan besar tentang apa sebabnya masyarakat itu teradi , Bukankah masing-masing orang itu mempunyai kepentingan dan keinginannya sendiri-sendiri> sekalipun demikian, mengapa mereka itu bisa hidup dalam ikatan kemasyarakatan? Apa yang menyebabkan mereka itu terikat ke dalam satu kesatuan kehidupan ?

     Teorinya yang mencoba untuk memecahkan problem tersebut dan telah menjadi klasik , diuraikan dalam kitabnya De La division du travail social (1983) di terjemahkan ke dalam bahasa inggris :  (The Division of Labor in Society) . Durkheim menemukan faktor yang dicarinya itu dalam bentuk solidaritas , Baginya yang pertama-tama ada adalah kesadaran sosial, bukan kesadaran infividual . Durkheim menekankan perhatiannya pada fenomen solidaritas sosial yang terdapat antara orang-orang dalam masyarakat, Pada saat periode solidaritas itu belum terbentuk , yaitu pada saat hubungan antara orang-orang dalam suatu wilayah hanya bersifat adang kala, maka di situ belum terbentuk masyarakat dengan pengaturan yang terperinci , Persoalan yang kemudian dikemukakannnya adalah , Bagaimanakah ia dapat mengukur solidaritas  tersebut , Seperti dikemukakan di atas , Durkheim mengikuti metode empiris , sehingga dalam hal ini ia juga dapat di tangkap secara empiris . Sekalipun solidaritas tidak dapat ditangkap dan di ukur dengan pasti , namun Durkheim menemukan lambangnya yang empiris pada : hukum. Bertolak dari penemuan yang demikian itu , ia selanjutnya melihat adanya pertalian antara jenis-jenus hukum tertentu dengan sifat solidaritas dalam masyarakat . Ia membuat perbedaan antara “Hukum yang menindak”(repressive) dan “hukum yang mengganti”(restitutive) .